Ibu tidak mudah
meneteskan air mata. Namun ibu, tetaplah wanita yang lembut hatinya
meski pendirian setegar karang. Saat hatinya terluka, ibu meneteskan air
matanya. Saat buah hatinya bersedih, hatinya pun turut merasakan pilu.
Betapa ku sadari air mata ibu sungguh mahal harganya dan tak terhitung
berapa kali aku membuatnya menangis. Masih terus terkenang di dalam
ingatanku. Kisah saat aku duduk di kelas 2 SMP, aku membuat ibuku
menangis, menorehkan luka dalam hatinya.
Ibu selalu mengajarkan aku dan adik-adikku menjadi anak yang jujur. Sejak kecil aku orang yang moody. Segalanya ku lakukan berdasarkan mood.
Sering aku merasa malas makan. Bukan karena aku tidak merasa lapar.
Tapi malas itu benar-benar sudah masuk sampai pembuluh darah. Berulang
kali ibu menyuruhku makan malam. Sebenarnya dari siang itu aku belum
juga menyentuh makanan yang tersedia di meja makan. Karena tidak ingin
makan, saat ibu bertanya, “Poet, sudah makan?”
“Sudah”, jawabku. Aku berbohong. Sungguh aku mengucapkannya dengan jantung berdetak lebih kencang.“Makan
pakai apa?”, Aku diam. Aku bahkan belum melihat apa yang terhidang.
Bagaimana aku bisa menjawab. Aku diam. Aku bahkan tidak berani menatap
matanya. Ibu terlalu mengenal buah hatinya. Ibu tidak memukulku, tapi
dari kedua matanya mengalir bulir-bulir air mata. Air mata yang
menandakan betapa hatinya terluka. Buah hatinya berbohong. Melihat air
mata ibu, aku pun menangis. Betapa tidak berbaktinya aku, melukai hati
ibu. Aku berulang kali meminta maaf dan segera duduk di meja makan,
memakan makanan dengan pandangan yang kabur karena air mata. Sambil
menemaniku, ibu berkata, “Buat apa ibu bekerja keras, membanting tulang
jika bukan untuk mendapat penghasilan supaya kamu bisa makan. Supaya
kamu menjadi anak yang sehat dan pintar”. Betapa mulia ibu ini. Bukan
untuknnya sendiri beliau bekerja, tetapi untuk kebahagiaan buah hatinya.
Saat ibu pergi, ibu tidak pulang dengan tangan kosong. Dia membawa
pulang jajan-jajan kesukaan buah hatinya, gery chocolatos, keripik kentang, dan donat.
Ibu,
maafkan putrimu yang sering melukaimu ini. Aku pernah membuatmu
menangis karena keburukan sifatku. Tapi, pernahkah aku membuatmu
menangis penuh haru karena merasa bangga terhadapku?
Ibu,
kasih sayangmu, cinta kasihmu adalah harta yang tak ternilai bagiku. Aku
bukan putrimu yang mudah berucap saat berbincang. Biarkan tulisan ini
yang mengatakan isi hatiku yang tak mampu terucap dengan lisan.
Ya
Allah, aku tak pernah tahu di mana akhir dari perjalanan hidupku. Aku
juga tak pernah tau sampai kapan aku bisa melihat senyum lembut ibuku.
Tapi ijinkan aku Ya Allah, ijinkan aku terus menebarkan senyum di
wajahnya. Beri aku kesempatan untuk terus berbakti kepadanya, memberikan
kebanggaan pada dirinya. Jika aku pernah membuatnya menangis karena
dosa yang kubuat, ijinkan aku Ya Allah, ijinkan aku mengganti air mata
itu dengan air mata yang lebih baik. Air mata yang mencerminkan betapa
segala perjuangannya untukku tidaklah sia-sia.
Post a Comment